06 Juni, 2011

Partai Politik Jalankan Praktik Mafia

Suara Pembaruan, Senin, 06 Juni 2011


"Pelaku korupsi di Indonesia sudah tidak tahu malu dan tidak takut melakukan korupsi. Pejabat dan politisi yang sudah ketahuan melakukan korupsi tidak ada yang mundur dari jabatannya."

[JAKARTA] Berbagai persoalan yang membuat agenda reformasi dan pembangunan bangsa tidak berjalan, karena partai poliltik (parpol) menjalankan praktik seperti mafia. Struktur organisasi yang dijalankan parpol di Indonesia tak beda dengan struktur organisasi mafia yang menguasai semua lini, mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum hingga pengusaha.

"Kekuatan"politik di Indonesia sekarang ini terorganisasi seperti mafia, yakni memainkan peran yang sama dengan membangun hirarki kekuasaannya di berbagai lini, melalui pengaruh kekuatan politik maupun kekerasan.Beda antara parpol dan mafia hanya pada legalitas saja," kata pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens melalui email yang diterima SP di Jakarta, Senin (6/6).

Dosen UI yang tengah menempuh pendidikan doktornya di Freie Universiteit Berlin, Jerman itu, mengungkapkan, beberapa praktik mafia yang diterapkan parpol di Indonesia antara lain terlihat dari pembagian wilayah kekuasaan. Bagi mafia, kelompok yang satu tidak akan mengganggu wilayah kekuasaan kelompok mafia lainnya. Jika ada kelompok mafia lain yang menghajar maka akan dilawan. Sebaliknya jika ingin mencapai sasaran tertentu, kelompok mafia akan bersatu.

"Ini sama dengan parpol. Mereka saling melindungi, tetapi akan melawan jika wilayah kekuasaan mereka diusik. Makanya meskipun ada kasus besar, jangan harapkan penegakan hukum bisa ditegakkan untuk menuntaskan kasus itu, karena parpol yang sedang tertimpa kasus akan melawan dan menyeret parpol lainnya,” ujar Boni.

P r a k t i k lainnya, kata dia, mafia biasanya mengontrol bisnis-bisnis haram seperti prostitusi dan perdagangan obat bius, meskipun banyak juga bisnis halal untuk mencuci uang dari bisnis haram. Hal yang sama juga diterapkan parpol dengan menjadi backing politik dari para pebisnis haram. Sebagai imbalannya, para pebisnis haram memberikan setorannya pada parpol dan juga aparat negara.

Praktik mafia lain yang juga diterapkan parpol adalah penggelapan pajak dan pencucian uang. Parpol menggunakan perusahaan kader-kadernya agar uang yang mereka dapatkan secara tidak legal bias menjadi legal. Seperti juga organisasi mafia yang tak bias ditumpas, meskipun ada anggotanya yang tertangkap aparat penegak hukum, parpol di Indonesia juga nyaris tak tersentuh hukum.

Kasus yang melibatkan anggota parpol hampir tak pernah tuntas, karena aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, pengacara, hakim, birokrat, dan pengusaha semuanya dikuasai pimpinan parpol. “Di Indonesia justru aparat penegak hukum bermain bersama dengan parpol, sehingga jangan harapkan penegakan hukum akan berjalan, selama parpol masih melakukan praktik mafia seperti ini,” ujar Boni.

Ketua DPP Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Fuad Bawazier menyatakan, agenda reformasi seperti pemberantasan korupsi dan penegakan hukum tidak berjalan, karena sarat dengan kepentingan politik. Menurut dia, kepentingan politik dimainkan parpol yang berkuasa, membuat pisau hukum hanya tajam sebelah dan digunakan untuk menebas lawan-lawan politik penguasa.

“Itu bisa kita lihat dari berbagai kasus korupsi yang terjadi, namun pelakunya bisa lolos dan aparat hukum seolah tak berdaya, seperti pada kasus Nunun Nurbaeti dan Nazarudin,” ujar Fuad, di Jakarta, Minggu (2/6).

Tidak Malu
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti menilai, kultur politik di Indonesia sudah tercemar korupsi, dengan ditandai banyaknya praktik korupsi baik di tingkat pusat maupun daerah.

“Pelaku korupsi di Indonesia sudah tidak malu dan tidak takut melakukan korupsi. Pejabat dan politisi yang sudah ketahuan melakukan korupsi tidak ada yang mudur dari jabatannya,” kata Ikrar dalam diskusi "Indonesiaku Dibelenggu Koruptor", di Jakarta, Sabtu.

Menurut Ikrar, kalau di Jepang pejabat dan politisi yang ketahuan korupsi langsung mundur dari jabatannya. Bahkan ada pejabat di Jepang yang hanya menerima 50.000 yen atau sekitar Rp 5 juta saat kampanye, kemudian dituduh korupsi, ia pun langsung mundur dari jabatannya.

“Di Indonesia untuk menjadi pejabat dan politisi biayanya sudah sangat mahal, sehingga mendorong pejabat dan politisi berperilaku korup," katanya. [J-9]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar