21 Oktober, 2010

SBY, Hargailah Pilihan Rakyat!

Selasa, 19 Oktober 2010 12:58

SBY, Hargailah Pilihan Rakyat!

OLEH: BONI HARGENS

Tulisan kritis Ketua DPR Marzuki Alie berjudul “Hargailah Pilihan Rakyat” (Sinar Harapan, 18/10/2010) menarik untuk dikomentari.
Substansi MA adalah bahwa (1) sebagai pre­siden yang dipilih langsung oleh lebih dari 60 persen pemilih Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki legitimasi yang kuat, baik secara konstitusional maupun secara substansial.  Konsekuensinya, (2)  SBY tak akan pernah bisa digulingkan oleh kekuatan politik dalam bentuk apa pun, karena hal itu identik dengan melawan kehendak rakyat dalam prinsip demokrasi yang sejati.
Tak salah apa yang diungkapkan Marzuki. Sebagai kader yang dikenal paling loyal terhadap SBY, dan dalam ka­pasitasnya sebagai bagian dari Majelis Tinggi Partai Demokrat, Marzuki telah memberikan argumentasi pembelaan yang kuat dan cerdas.
Akan tetapi, “hargailah pi­lihan rakyat” bisa pula menjadi argumentasi bagi kelompok sipil yang kecewa dan hendak mengoreksi  SBY saat ini.  “Hargailah pilihan rakyat” justru dialamatkan pada SBY sendiri yang telah enam tahun memimpin Indonesia tanpa perubahan yang substansial dan konkret.
Kabinet politik yang diba­ngun bukan sistem kolegial yang bekerja dalam koordinasi pre­siden dan dengan menjunjung tinggi hak prerogatif pre­siden. Kabinet adalah resultan dari kepenting­an politik beragam partai yang menumpang kekuasaan SBY. Itu sebabnya, kabinet tak pernah bisa bekerja dengan benar untuk kepentingan rakyat. SBY sendiri terlihat labil dan kehilangan wibawa di hadapan menterinya sendiri.
Program politik dan kebijakan pemerintah kelihatan tidak memiliki orientasi langsung pada perbaikan hidup rakyat. Popularitas dan keutuhan kekuasaan dijadikan tujuan. Alhasil, kita terpuruk dalam hal ekonomi, sosial, hukum, politik, dan pertahanan dan keamanan.
Gerakan massa yang  dalam agenda terjadi pada tanggal 20 Oktober mendatang bukanlah sebuah gerakan makar yang melawan kehendak rakyat atau berkehendak membunuh roh demokrasi. Gerakan itu adalah bentuk koreksi paling tinggi yang dilakukan masyarakat sipil terhadap pemerintahan yang gandrung anti-kritik.

Koreksi Kinerja
Marzuki, seperti halnya kelompok politik Demokrat, sama sekali tidak salah membela SBY. Itu adalah tugas sebagai konsekuensi dari posisi politik. Akan tetapi, pesan para akademisi dan aktivis demokrasi juga perlu dibaca dengan jernih. Pada kenyataannya, bukanlah peng­guling­an kekuasaan yang dikehendaki, melainkan koreksi total terhadap kinerja pemerintah.
Dalam konteks ini, bukan kehendak rakyat yang dilawan, justru Presiden dituntut agar menghargai pilihan rakyat dalam pemilu. Menghargai pilihan rakyat itu terejawantahkan dalam sikap dan kerja politik. Pertanyaannya, apa yang telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia?
Statistik kemiskinan dan pengangguran yang dike­luarkan Badan Pusat Statistik, dan sering kali dikutip Presiden dalam berbagai pidato dan curhat-nya, tak bisa dijadikan indikator objektif mengukur kinerja pemerintah. Lembaga swadaya masyarakat dan Bank Dunia, misalnya, memiliki data lain tentang kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Jelaslah bahwa BPS pun bisa bekerja untuk kelompok yang tengah berkuasa.
Terlepas dari semua ini, dua hal mau disampaikan sebagai tanggapan terhadap Marzuki. Pertama, aksi tanggal 20 Oktober bukanlah gerakan makar yang  dapat membenarkan polisi menerapkan Protap Anti Anarkisme dengan menembak di tempat para aktivis, melainkan koreksi total terhadap pemerintahan SBY. Untuk itu, aksi ini penting untuk dihargai dan dipahami pesan baiknya. Hanya dengan itu SBY bisa belajar menghargai pilihan rakyat.
Kedua, sebagai kader terbaik Demokrat, Marzuki telah melakukan pembelaan yang cerdas. Ini cara yang santun dan rasional dalam tradisi demokrasi. Kita berharap, logika yang sama perlu ditularkan pada kader Demokrat yang lain di bawah kepemimpinan Anas Urbaningrum, supaya tidak sekadar mengeluarkan per­nyataan emosional yang memberi kesan jarang berpikir. Cukup banyak kader Demokrat yang mengeluarkan blunder yang justru merendahkan mutu dialektika demokrasi.
Meskipun demikian, respons SBY harus lain dari respons kadernya. Yang dibutuhkan dari presiden adalah tindakan konkret, bukan wacana. Empat tahun menuju 2014 bukanlah waktu yang singkat. Seluruh energi harus dikerahkan untuk menciptakan perubahan. Kalau tidak, gerakan politik melawan pemerintah akan sulit di­kendalikan, karena itu pun adalah bentuk lain dari upaya “menghargai  pilihan rakyat”.

 Penulis adalah dosen di FISIP Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar