17 Januari, 2011

KENAPA KORUPSI KEKAL ?


KENAPA KORUPSI KEKAL ?


Di penghujung tahun 2010, harian ini menurunkan berita korupsi cukup intensif. Di antaranya, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai korupsi sebagai kejahatan, yang bersifat luar biasa (extraordinary crime) karena dampaknya sangat buruk terhadap aset dan keuangan negara. Dalam uraian yang normatif--ketika membuka Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) yang keli¬ma (1 Desember 2010)--dan bisa dikatakan tak ada yang baru, Presiden menegaskan bahwa korupsi terjadi menyentuh lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Karena itu semua cara dan metode harus dilakukan untuk menumpas korupsi.
Sebagaimana biasa bermain dengan ang¬ka, kali ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyusun lima langkah membasmi korupsi seperti ditulis Suara Pembaruan tanggal 2 Desember 2010. Pertama, memastikan sistem, regulasi dan pengawasan makin efektif. Kedua, memberikan atensi lebih besar kepada yang mengelola aset dan keuangan negara seperti bea cukai dan pajak. Ketiga, mencegah dan memberantas korupsi di lingkungan aparatur. Aparat penegak hukum harus bersih terlebih dahulu sebelum memberantas korupsi di tempat lain. Keempat, memberikan atensi lebih besar kepada pelayanan publik. Kelima, metode whistleblower system.
Kali ini, barangkali tak penting kita mempersoalkan poin-poin yang disampaikan oleh Presiden. Yang penting disoroti, komunikasi politik Presiden yang seringkali memperlihatkan diri sebagai pengamat atau analis ketimbang sebagai kepala dari suatu pemerintahan. Presiden pandai beranalisa, itu perlu diakui. Lantas, apa bedanya pengambil kebijakan dan pengamat kebijakan? Apa bedanya pelaku politik dan pengamat politik? Apa bedanya pemimpin dan yang dipimpin?
Idealnya, dalam acara penting seperti itu, Presiden mengatakan langkah konkrit yang telah dan yang hendak dijalankan pemerin¬tah untuk mengatasi masalah korupsi.
Nah, kita makin kesulitan memahami tindakan politik dan komunikasi politik Presiden. Mari kita perhatikan apa yang terjadi pada rapat kerja Kejaksaan Agung 2010 tanggal 13 Desember 2010. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali menegaskan soal korupsi. Sedikit berbeda dengan sebe¬lumnya, kali ini ia berangkat ke spektrum yang lebih luas yakni masalah penegakan hukum (Suara Pembaruan, 13 Desember 2010).
Dikatakan, ada empat hal yang mempengaruhi kepercayaan publik terhadap pene¬gakan hukum. Pertama, adanya sorotan tajam terhadap penegakan hukum oleh dunia. Kedua, korupsi. Ketiga, terjadi kejahatan dan penyimpangan yang dilakukan penegak hukum di wilayah manapun. Keempat, adanya serangan pers dan publik terhadap penegakan hukum yang berlangsung sistematis.
Poin terakhir ini tendesius nuasanya. Terminologi, "serangan pers dan publik terhadap penegakan hukum yang berlangsung sistematis", agak tidak masuk akal dan rancu. Penjelasannya demikian: "Itu adalah kontrol dari publik. Namun, sebagian ada yang bias dan sistematis. Itu dikonsumsi masyarakat kita sehari-hari. Ditambah, penegak hukum kita kurang berkomunikasi secara efektif dengan publik. Ada penurunan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di negeri kita. Bagaimana membangun kembali trust itu kepada para penegak hukum," kata Presi¬den.
Menyalahkan Kebebasan Pers
Kelihatan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mau menyalahkan kebebasan pers dan kekritisan publik atas keamburadulan penegakan hukum di Indonesia. Implikasi dari pernyataan ini amat serius. Presiden mau mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan penegakan hukum. Semua itu permainan media dan rekayasa para aktivis yang kurang kerjaan. "Serangan yang berlangsung sistematis" bisa ditafsir, ada sentimen anti-penegakan hukum di kalang¬an media dan publik, sehingga kasus korupsi terus dijadikan berita utama. Mungkin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mau mengatakan juga bahwa pemerintahan tengah digoyang oleh isu korupsi, karena kerja sistematis media dan publik. Ada apa ini?
Ini namanya politik lempar handuk. Tak perlu diulang lagi sebenarnya, bahwa tanpa media massa dan publik yang kritis, demokrasi tak bisa hidup. Semua orang yang ber-pikir waras tahu akan hal ini. Konsekuensinya, suatu pemerintahan yang benar demokratis akan berterima kasih dengan adanya pers yang merdeka dan publik yang kritis. Sebab kalau pemerintah cemas dengan kondisi baik ini, dokter kategori apapun akan dengan mudah tahu mana pasien dalam konteks ini.
Pada kesempatan yang sama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali mengeluarkan jurus angkanya dengan menelurkan lima tugas Kejaksaan Agung yang harus dilakukan dengan serius. Pertama adalah pemberantasan korupsi. Kedua adalah pencegahan dan penanggulangan terorisme. Ke-tiga adalah kejahatan pajak. Keempat masalah kejahatan narkoba. Kelima. kejahatan di wilayah illegal logging.
Simon L Koenen menulis buku "Korrup¬tion in Indonesien: Einblicke und Hinter¬griinde" pada tahun 2009. Buku setebal 179 halaman itu memahami praktek korupsi di Indonesia sebagai sesuatu yang sistematis, struktural, dan mengakar. Tesis generalnya tak begitu berbeda jauh dengan studi lain seperti Jon S.T. Quah (2002) yang menyoroti lemahnya struktur legal dan agen independen sebagai pendukung korupsi di berbagai negara di Asia, Paul D. Hutchcroft (2002) yang spesifik membidik korelasi rente, korupsi, dan klientilisme, atau Mushtaq H. Khan (1998) yang melihat kultur patronase sebagai sumber utama korupsi. Bahwa basis motif korupsi adalah kepentingan ekonomi-politik. Tapi salah satu poin Koenen yang menarik bahwa korupsi tidak lepas dari masalah budaya dan mekanisme penegakan hukum secara nasional.
Maka yang penting dilakukan pemerintah, bukan menebar analisa kepada masyarakat, melainkan menganalisa untuk merumuskan langkah konkrit agar masalah terselesaikan secara sistemik. Akarnya ditemukan, dipotong tuntas, dan dirumuskan langkah pen-cegahan di masa mendatang melalui mekanisme penegakan hukum yang kuat.
Dalam konteks kita, kalau mau melihat dari aspek pelaku, korupsi akan tetap kekal selama simbiosisme konspiratif-mutual antara penguasa, kapitalis, dan birokrat tak bisa diruntuhkan oleh kekuatan undang-undang dan agen independen yang merupakan representasi kontrol masyarakat luas. Tiga agen ini yang harus ditertibkan melalui perangkat hukum dan penegak hukum yang kuat. Se-bab selama politik dan ekonomi dalam cengkraman hegemoni tiga bos utama ini, selama itu pula korupsi sistemik berlangsung; dan selama korupsi sistemik terus berkembang, kita pun dapat menebak dengan memakai parameter Yugoslavian, kapan sebuah negara demokrasi runtuh akibat korupsi.


"Yang penting dilakukan
pemerintah, bukan menebar
analisa kepada masyarakat,
melainkan menganalisa untuk
merumuskan langkah konkrit
agar masalah terselesaikan
secara sistemik."



PENULIS ADALAH PENGAJAR ILMU POLITIK UNIVERSITAS
INDONESIA. SAAT INI TINGGAL DI BERLIN, JERMAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar