16 Maret, 2011

Demokrat Dinilai Kebelet Inginkan Reshuffle

KOALISI PEMERINTAHAN
Demokrat Dinilai Kebelet Inginkan Reshuffle

Ade Komarudin, Ketua DPP Partai Golkar.

Rabu, 16 Maret 2011


JAKARTA (Suara Karya): Ketua DPP Partai Golkar Ade Komarudin menuding Partai Demokrat sangat bernafsu agar Presiden SBY melakukan perombakan (reshuffle) kabinet karena mereka ingin memasukkan nama-nama baru menteri.

"Jadi, reshuffle itu agenda Partai Demokrat, bukan Partai Golkar," kata Ade yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) di sela pelantikan pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) SOKSI XXIII Nusa Tenggara Timur, di Kupang, Selasa.

Menurut Ade, Partai Golkar tidak akan ikut-ikutan mendorong Presiden melakukan perombakan kabinet. Golkar, katanya, menyerahkan masalah itu secara penuh kepada Presiden. Bagi Partai Golkar, berada di dalam maupun di luar kabinet sama terhormatnya.

Ade juga menegaskan bahwa Partai Golkar akan tetap kritis di parlemen maupun di Setgab Partai Pendukung Pemerintah. Menurut dia, elite politik tidak boleh bersikap egois dan memperjuangkan diri masuk kabinet.

"Soal reshuffle kabinet, itu hak prerogatif presiden. Jadi, soal ada-tidaknya reshuffle, itu kewenangan penuh presiden," kata Ade.

Dia mengimbau semua elite politik menghentikan terbuangnya energi secara sia-sia terhadap isu pecahnya koalisi dan reshuffle kabinet. "Semua elite politik sebaiknya fokus kepada masalah bangsa yang sangat mendesak, seperti naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) akibat krisis politik di Timur Tengah serta ancaman krisis pangan yang menghantui negeri ini. Semua pihak harus mencari solusi terbaik menyelesaikan kedua masalah tersebut. Ada saatnya kita berbeda pendapat, ada saatnya pula mencapai titik temu. Sekarang inilah saatnya mencapai titik temu," ujarnya.

Ade menjelaskan, sebagai ormas kemasyarakatan, SOKSI selalu memelopori dan menyelesaikan setiap masalah secara kekeluargaan, tidak mempertajam perbedaan dan konflik, tapi mencari titik persamaan.

"Karena itu, jika ada perbedaan, sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan dan mengedepankan demokrasi Pancasila. Jangan sampai seperti di Timur Tengah yang sedang dilanda krisis politik dan ekonomi," kata Ade.

Sementara itu, anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lily Wahid berpendapat, pemerintahan Presiden SBY merupakan bentuk presidensial plus. "Plus penakut," katanya. Alasannya, dengan dukungan pemilih sebesar 60 persen pada pemilu, SBY seharusnya tidak melakukan koalisi termasuk dengan PKB.

Apalagi, menurut Lily, ketua umum partai tidak bekerja maksimal sebagai menteri. "Ketua umum partai sudah terbukti tidak bisa bekerja, mengapa dipilih?" katanya.

Pada saat koalisi tidak stabil, menurut Lily, SBY malah kebingungan sendiri. SBY berniat me-reshuffle kabinet, tetapi tidak tahu siapa menteri yang harus diganti. "SBY takut kehilangan dukungan dari koalisi. Akhirnya, yang jadi korban adalah rakyat Indonesia. Pemerintahan tidak bisa bekerja dengan baik karena menteri tidak bekerja optimal," tuturnya.

Karena itu, Lily menegaskan, reshuffle kabinet seharusnya dilakukan karena sudah menjadi kebutuhan. "Ganti saja menteri yang tidak bisa bekerja. Jangan melihat dia dari partai apa. Bahkan menteri dari Partai Demokrat sekalipun, kalau berkinerja tidak betul, ya harus diganti," katanya.

Lily menambahkan, pengganti menteri yang terkena reshuffle juga jangan diambil dari partai politik. Sebab, kondisinya akan sama saja, tidak bisa maksimal bekerja. "Pilihlah pengganti dari kalangan profesional," katanya.

Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso menegaskan, Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie tidak pernah meminta jabatan sebagai Ketua Harian Setgab Parpol Pendukung Pemerintah. "Keputusan memilih Pak Ical (Aburizal Bakrie) sebagai Ketua Harian Setgab adalah keputusan Presiden dan berdasarkan kesepakatan bersama," katanya.

Karena itu, menurut Priyo, kalau ada pihak yang ingin memasalahkan posisi Ketua Harian Setgab, sebaiknya mereka memberitahukan kepada Presiden.

Sementara itu, pengamat politik Boni Hargens meyakini, Presiden tidak akan melakukan reshuffle kabinet. Soalnya, reshuffle kurang menguntungkan posisinya di antara partai koalisi. "Mengapa isu reshuffle kian meredup? Sebab, SBY tak mau bertindak ceroboh memutus maupun melanjutkan partai koalisi. Dia hanya mempermainkan isu reshuffle untuk memusingkan parpol mitra koalisi," ujar Boni.

Dia meyakini, masing-masing partai koalisi memegang kartu truf sehingga SBY tak berani membuat keputusan reshuffle. Selain itu, jika SBY melakukan reshuffle kabinet dengan melepas menteri dari parpol, dukungan politik kepada pemerintah niscaya makin berkurang. Padahal pemerintah membutuhkan dukungan politik yang kuat. (Rully/Joko)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=274616

Tidak ada komentar:

Posting Komentar