28 Maret, 2011

DPR Tak Punya Hati Nurani

PEMBANGUNAN GEDUNG BARU
DPR Tak Punya Hati Nurani



Jeirry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi).
 Selasa, 29 Maret 2011

JAKARTA (Suara Karya): DPR bersikap arogan dan tak memiliki hati nurani karena meloloskan rencana pembangunan gedung baru DPR yang supermewah. Bagaimanapun, biaya sebesar Rp 800 juta yang harus dikeluarkan untuk satu ruangan anggota DPR jelas menafikan hidup rakyat kebanyakan yang kian dililit kemiskinan.
Demikian rangkuman pendapat Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow, pengamat politik Iberamsjah dan Boni Hargens, serta politikus Partai Gerindra Martin Hutabarat. Mereka menuturkan pendapat secara terpisah di Jakarta, Senin (28/3).
Sementara itu, Ketua DPR Marzuki Alie tetap berkukuh menyatakan bahwa biaya pembangunan gedung baru DPR sangat wajar.
Boni Hargens mengatakan, lolosnya rencana pembangunan gedung baru DPR makin menunjukkan bahwa keberadaan DPR sebagai lembaga wakil rakyat itu isapan jempol belaka. Buktinya, pimpinan maupun kebanyakan anggota DPR tak menghiraukan tuntutan rakyat agar pembangunan gedung supermewah itu dibatalkan.
Juni 2011, pembangunan gedung baru DPR itu dimulai. Setiap anggota DPR kelak menempati ruang kerja senilai hampir Rp 800 juta. Luas ruang kerja untuk setiap anggota DPR adalah 111,1 meter persegi. Sementara luas gedung baru DPR itu secara keseluruhan adalah 157.000 meter persegi. Dana yang diperlukan untuk itu tak kurang dari Rp 1 triliun.
Bagi Iberamsjah, sikap DPR paralel dengan sikap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kedua institusi itu, katanya, sama-sama tak peduli terhadap perekonomian rakyat. "Rakyat terjajah oleh pemerintah dan wakilnya sendiri," ujarnya.
Iberamsjah mengingatkan betapa rakyat sekarang ini megap-megap dalam memenuhi kehidupan sehari-hari di tengah kondisi harga sembako yang tak terjangkau, biaya pendidikan yang melambung, serta rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Karena itu, menurut Iberamsjah, anggota DPR seharusnya membuka mata dan telinga sehingga mereka tahu persis bahwa rakyat benar-benar kesulitan secara ekonomi. "Apa mereka tahu banyak rakyat yang susah sekolah, susah makan," ujarnya.
Iberamsjah mendesak anggota DPR yang masih punya hati nurani agar tegas menolak pembangunan gedung baru, meskipun sikap mereka bertolak belakang dengan keputusan parpol tempat mereka bernaung. "Anggota DPR dipilih oleh rakyat. Jadi, sudah seharusnya anggota DPR berpihak dan menyuarakan aspirasi rakyat," ujarnya.
Boni Hargens juga mengingatkan pemerintah dan DPR terkait kekuatan rakyat (people power). Rakyat berpotensi marah dan turun ke jalan secara sporadis untuk menentang arogansi pihak legislatif dan eksekutif. "Pemerintah dan DPR sudah satu hati. Soalnya, tak mungkin gedung itu terbangun apabila pemerintah tak meloloskan anggaran untuk pembangunannya," ujar Boni.
Dia mempertanyakan arogansi DPR. Di tengah kemarahan rakyat, DPR masih meloloskan pembangunan gedung supermewah itu. "DPR sudah menyepelekan dan mengabaikan rakyat. Sangat wajar apabila rakyat menuntut hak-haknya untuk diperhatikan DPR," ujarnya.
Boni menyakini, kengototan DPR untuk membangun gedung baru itu telah terkontaminasi korupsi. "KPK harus menyelidikinya. Demikian juga seterusnya. Masyarakat juga harus mengawasi KPK untuk mengaudit dana pembangunan gedung itu," ujarnya.
Sementara itu, politisi Partai Gerindra Martin Hutabarat menuding pimpinan DPR dan Sekjen DPR tak memiliki kepekaan dalam mendengar reaksi mayoritas rakyat yang menolak pembangunan gedung baru parlemen. Terlebih rencana itu sudah berbau kebohongan.
"Sudah banyak bohongnya, seperti pernyataan bahwa gedungnya miring 7 derajat, gedungnya sudah hampir runtuh karena fondasinya keropos, gedungnya sudah disetujui dibangun oleh BURT periode sebelumnya, dan lain-lain, yang semuanya ternyata tidak benar," ujarnya.
Gedung yang ada saat ini dinilai masih layak digunakan. Kementerian Pekerjaan Umum (PU) bahkan sudah memprediksi ketahanan gedung hingga 35 tahun mendatang.
Tak hanya itu, keinginan kuat sejumlah anggota dan pimpinan dewan juga menimbulkan tanda tanya. "Kengototan ini juga yang menimbulkan tanda tanya, ada apa di balik semuanya ini? Apakah transaksi atau idealisme," ujarnya.
Di lain pihak, Jeirry Sumampow mengatakan, pembangunan gedung baru DPR yang dilakukan untuk mendongkrak kinerja atau produktivitas anggota DPR hanya sebatas angan-angan.
Dia menilai, pembangunan gedung baru tersebut tidak akan memiliki dampak terhadap peningkatan kinerja DPR.
"Tidak ada korelasinya antara fasilitas ruangan mewah dan kinerja. Jadi, pembangunan ruang kerja mahal dan mewah itu akan sia-sia saja, hanya menghambur-hamburkan uang negara," katanya.
Dia menuturkan, sebaiknya proyek pembangunan itu dapat dihentikan sementara waktu. Terlebih lagi, banyak kejanggalan sepanjang proses perencanaan pembangunannya, mulai dari perubahan anggaran hingga desainnya.
Apabila alasan administrasi menjadi penyebab sulitnya pembatalan tersebut, Jeirry menilai, hal itu kurang masuk akal.
"Jika DPR berkeras meneruskannya, sudah sangat jelas bahwa anggota DPR sangat arogan dan keras kepala. Ini juga akan makin menimbulkan pertanyaan di masyarakat mengapa DPR tetap memaksakan diri untuk melanjutkan pembangunannya padahal sudah banyak kritikan," ujarnya.
Dia mendesak, pembangunan gedung baru tersebut harus dibatalkan mengingat saat ini DPR juga belum merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu.
"Karena pembangunan itu juga terkait dengan sistem pemilu kita. Jika ternyata ada perubahan terhadap sistem pemilu, maka nantinya juga akan memengaruhi bertambah atau berkurangnya anggota DPR. Tentunya kalau jumlahnya bertambah berarti akan mengubah desain awal karena tidak sesuai kebutuhan," ujarnya.
Di satu sisi, Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan, anggaran pembangunan gedung DPR masih dalam batas kewajaran. Hal ini didasarkan pada harga pembangunan satu ruangan kerja anggota DPR seluas sekitar 111,1 meter persegi, setara dengan bangunan kantor kecamatan setinggi empat lantai.
"Anggaran gedung DPR, menurut Kepala Biro Pemeliharaan Bangunan dan Instalasi di Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR, Sumirat, itu sudah terendah. Dan, kata Sumirat, itu sama dengan bangunan empat lantai di tingkat kecamatan," katanya.
Dalam kesempatan tersebut, dia juga membantah penilaian sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengenai harga pembangunan satu ruang kerja anggota DPR yang mencapai Rp 7,2 juta per meter persegi itu terlalu mahal.
Menurut Marzuki, harga konstruksi bangunan ini sudah paling murah. Dia menjelaskan, dianggarkan dana sebesar Rp 4,5 juta permeter persegi untuk konstruksinya, sedangkan Rp 7 juta untuk elektrik, mekanik, termasuk pembuatan lift.
Seperti diberitakan sebelumnya, Setjen menjabarkan, biaya pembangunan gedung baru diperkirakan sebesar Rp 1,138 triliun. Gedung 36 lantai akan didirikan di atas areal seluas 157 ribu meter persegi dan akan berlokasi di belakang Gedung Nusantara I DPR. Harganya kira-kira Rp 7,2 juta per meter persegi.
Untuk ruang kerja 560 anggota dewan itu masing-masing dijatah 111,1 meter persegi. Artinya, harga ruang kerja tiap anggota dewan sekitar Rp 800 juta. Itu hanya bangunan fisiknya saja, belum termasuk interior dan fasilitas pendukungnya.
Rencananya, dalam satu ruang itu akan dihuni tujuh sampai delapan orang. Jumlah itu terdiri dari, satu anggota dewan, lima tenaga ahli, dan satu staf ahli. (Tri Handayani/Feber S) 

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=275549
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar