Vidi Batlolone | Senin, 08 Juli 2013 - 15:10:24 WIB

(SH/Daniel Pietersz)
CAPRES CAWAPRES HANURA - Ketua Umum Partai Hanura Wiranto (kiri)
dan Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Hanura Hary Tanoesoedibjo (kanan),
mendeklarasikan diri mereka sebagai Capres- Cawapres.
Prediksi perolehan suara hanya sekitar 4 persen.
JAKARTA - Sebagai seorang tentara, Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Wiranto, mungkin tidak pernah kenal kata menyerah. Jika sudah memiliki target, dentuman bom dan desingan peluru di atas kepala pun tidak membuat langkahnya surut.
Tentara boleh kalah pertempuran, tetapi tetap harus memenangkan perperangan. Target utama Jenderal Wiranto tampaknya ialah kursi Istana. Memimpin dan menyetir bangsa ini langsung di belakang kemudi utama.
Hampir seluruh sisa masa pensiunnya, setelah tidak memimpin pasukan, diabdikan untuk target ini. Kita tahu dia memulai peretempuran itu pertama kali pada 2004 saat mengikuti konvensi calon presiden partai Golongan Karya.
Mantan Panglima ABRI itu menang konvensi melawan rival-rival yang cukup berat. Ada Ketua Umum Partai Golkar saat itu Akbar Tanjung, yang setia menakhodai bahtera Golkar melewati hujatan-hujatan gelombang reformasi yang menuntut pembubaran partai tersebut. Ada juga Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto yang 32 tahun berkuasa.
Konvensi itu konon sarat politik uang. Itulah alasan Partai Golkar sampai saat ini tidak pernah lagi mengadakan konvensi untuk memilih calon presiden.
Wiranto kembali mengincar kursi Istana. Sadar kemungkinan mecalonkan diri kembali dari partai Golkar tipis, dia mendirikan partai baru, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Dia duduk menjadi ketua umum. Pada pemilu legislatif, perolehan suara Hanura signifikan dan berhak duduk di parlemen. Sang Jenderal pun kembali naik gelanggang pencapresan, namun ia kalah telak.
Seperti ingin memberi pelajaran soal jiwa pantang menyerah prajurit, jebolan Akademi Militer 1967 ini muncul lagi untuk Pemilu 2014. Dia kembali mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dari Partai Hanura, Rabu kemarin. Dia memilih berpasangan dengan bos media Hary Tanoesudibyo.
“Kami pasangan yang saling melengkapi. Merefleksikan mayoritas dan minoritas,” kata Wiranto saat deklarasi capres-cawapres.
Sejumlah analisis kemudian bermunculan mengenai deklarasi capres Partai Hanura ini. Ada yang menilai langkah ini terlalu terburu-buru.
Hanya partai Golkar sejauh ini yang sudah mendeklarasikan Aburizal Bakrie sebagai capresnya, itu pun tidak disertai pasangan cawapres. Mungkin cawapres Golkar akan dipilih setelah pemilu legislatif. Bisa dari internal ataupun hasil koalisi dengan partai lain, tergantung hasil pileg.
Tapi Hanura langsung menyorongkan satu paket capres-cawapres meskipun belum tentu partai ini mampu memenuhi persyaratan suara minimum mengajukan calon presiden. Apalagi, partai Hanura dalam sejumlah survei bukan termasuk partai tiga besar yang dapat memperoleh suara di atas 15 persen.
Politikus Hanura di Komisi I DPR Susaningtyas Kertopati menyebutkan Partai Hanura mendeklarasikan. Wiranto-Harry Tanoe berdasarkan pertimbangan politik yang matang. “Sudah ada hitung-hitungan politiknya itu,” katanya, namun enggan menyebuttkan alasannya.
Ada juga yang nyinyir memandang deklarasi ini. “Beliau sudah tua, saat juniornya Pak SBY sudah mau tinggalkan gelanggang, beliau malah masih mau masuk lagi,” kata Wasekjen Partai Demokrat, Ramadhan Pohan.
Ramadhan yakin dalam kesempatan mencalonkan diri untuk yang ketiga kali ini pun Wiranto bakal gagal lagi. “Sudah ikut sejak 2004, dan kalah terus, tapi masih mau coba lagi, nggak bakal menang. Di Indonesia kalau sudah kalah-kalah terus yah tidak akan pernah menang lagi,” tuturnya.
Bagi sebagian orang, langkah Wiranto juga dinilai sangat ambisius. Pengamat Politik Bonny Hargens, yang kini sedang menyelesaikan studi di Jerman menyebutkan, Wiranto tidak mengukur diri dan kapasitas partainya.
“Itu ambisi berlebihan, tidak sesuai dengan kerja politik Hanura dan kadar akseptabilitas partai di tengah masyarakat pemilih,” ujarnya kepada SH, kemarin.
Bahkan, Boni menilai Wiranto tidak akan mampu masuk di arena pemilu presiden. Dia memprediksi perolehan suara Partai Hanura hanya sekitar 4 persen. Paling tinggi yang bisa diraih ialah mengajukan cawapres. “Ide tiga besar dalam pemilu hanya utopia,” tuturnya.
Pencalonan presiden dan wapres oleh Hanura juga telah memecah belah partai karena tidak berlangsung demokratis. Sejumlah elite partai seperti Fuad Bawazier dan Yudi Chrisnandi mengkritik pencalonan Hary Tanoe sebagai wapres yang dianggap belum banyak berjasa atau berjuang membesarkan partai, namun langsung mendapat posisi strategis. Pemilik media MNC Grup ini dinilai “membeli” posisi melalui jaringan media massa yang dimilikinya.
Publik juga menganggap Hanura partai kecil yang tidak memiliki basis massa jelas sehingga kondisinya berbeda dengan PDIP ataupun Golkar. Elektabilitas Wiranto juga patut dipertanyakan karena masih jauh di bawah Jokowi dan Prabowo Subianto.
Pencalonan presiden dari satu partai membutuhkan suara di parlemen minimal 20 persen. Memang ada baiknya Wiranto “menginjak tanah” sebelum maju dalam Pilpres 2014. (Sigit Wibowo)
Sumber : Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar