21 Oktober, 2010

Aksi Unjuk Rasa Bentuk Perlawanan Positif Rakyat

Aksi Unjuk Rasa Bentuk Perlawanan Positif Rakyat
HEADLINE SUARA KARYA
JAKARTA (Suara Karya) Aksi unjuk rasa turun ke jalan pada 20 Oktober 2010 dijamin tidak akan anarkis apalagi menjurus pada upaya untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono (SBY-Boe-diono). Aksi unjuk rasa itu digelar sebagai wadah komunikasi rak-yat dan pemerintah.
Pendapat itu disampaikan aktivis Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi yang mengaku menjadi koordinator aksi unjuk rasa pada 20 Oktober 2010 serta pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens yang disampaikan secara terpisah kepada Suara Karya di Jakarta, Jumat (15/10).
Menurut Adhie Massardi, elemen masyarakat dan mahasiswa yang akan turun ke jalan pada 20 Oktober 2010 untuk memper-ingati satu tahun pemerintahan SBY-Boediono itu antara lain dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI). Himpunan Mahasiswa Islam-Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) serta organisasi-organisasi buruh.
"Unjuk rasa itu sebagai ben-tuk perlawanan positif rakyat terhadap pemerintah agar pemerintah mau mendengar kata-kata rakyat," ujar Adhie Massardi.
Setahun usia kinerja kinerja pemerintahan SBY-Boediono, menurut Adhie, belum menunjukan hasil nyata untuk mengatasi persoalan bangsa, terutama masalah kemiskinan.
"Hampir semua program yang dilakukan pemerintahan SBY-Boediono tidak ada yang berhasil, mulai soal tabung gas yang meledak hingga menyele-saikan konflik antarkelompok masyarakat," ujar dia.
Selain itu-, rasa aman yang didengung-dengungkan SBY-Boediono di masa kampanye tidak menunjukkan wujud nyata. Hilangnya jaminan rasa aman oleh pemerintah kepada masyarakat, kata Adhie, sebagai indikasi bahwa SBY-Boediono sudah jauh dari rakyatnya.
ndikator hilangnya rasa aman terlihat saat Presiden SBY tidak bertindak dan bereaksi saat terjadi kerusuhan di Tanjung Priok. Selain itu, sikap nyata pemerintah dalam menjamin masyarakatnya bebas beribadah juga tidak tampak," ujarnya.
Karena itu, menurut Adhie, aksi unjuk rasa 20 Oktober 2010 akan menjadi wadah komunikasi SBY dengan rakyat. "Kita meminta pemerintah tidak perlu jawaban kata-kata, tapi perbuatan nyata," ucap dia.
Boni Hargens meminta SBY-Boediono tak perlu risau terhadap aksi warga masyarakat turun ke jalan mengkritisi kinerja seta-hun pemerintahan. Unjuk rasa ini untuk menyampaikan aspirasi rakyat yang tersumbat karena tidak terakomodasi oleh DPR.
"Aspirasi yang tersumbat ini seperti gunung es yang siap mencair. Karena itu, masyarakat mengambil inisiatif untuk turun ke jalan," ujarnya.
Menurut dia, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat tidak mampu menjalankan fungsinya. "Suara dari DPR masih mencerminkan kepentingan kelompok dari kekuatan politik. Masyarakat yang telah memilih mereka telah ter-abaikan," kata Boni.
Ia juga menyoroti kinerja pemerintah yang tidak cepat bertindak mengatasi persoalan-persoalan. Pejabat pemerintah hanya mengandalkan retorika tanpa kerja nyata.
Pada awal pemerintahan, menurut dia, SBY masih bisa menyediakan rasa aman, meskipun aspek lain belum menunjukan pertumbuhan pembangunan yang signifikan. Rakyat masih bisa terima karena setidaknya masih punya rasa aman untuk tinggal di Indonesia.
"Sekarang ini, rakyat se-akan berjalan sendiri. Ibaratnya pasar, ada atau tidak ada pemerintah, pasar tetap akan buka dan berjalan. Tapi kan bukan begitu yang kita mau. Kita kan butuh pemimpin," ujarnya.
Sementara ifu, mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli membantah berniat menjatuhkan dan menggu- lingkan pemerintahan SBY-Boediono.
"Saya maupun kawan-kawan tidak pernah menggunakan istilah penggulingan. Kita selalu dalam setiap kesempatan menggunakan istilah perubahan," ujar Rizal. Karena itulah, Rizal ber-harap pemerintah tidak apriori dengan kritikan yang disampaikan sejumlah tokoh dan aktivis masyarakat.
Aspek perubahan itu, kata Rizal Ramli, meliputi strategi ekonomi dan sistem politik.-Perubahan pada strategi ekonomi itu, pemerintah diharapkan bisa lebih memihak kepada rakyat dan kepentingan nasional. Sementara perubahan sistem politik, menurut Rizal, bertujuan agar demokrasi kriminal bisa dihentikan.
Wacana penggulingan pemerintah, menurut Rizal, sengaja dilakukan pi-hak-pihak tertentu untuk menakut-nakuti partai-partai mitra koalisi yang kadernya terancam di-reshuffle dari kabinet. Tujuannya agar mereka terusik oleh wacana tersebut hingga membela SBY-Boediono mati-matian.
Rizal juga mengingatkan agar pemerintah menghindari sikap arogan dengan merasa tidak ada kelompok yang dapat menggulingkan pemerintahan. Pasalnya, tidak satu pun negara yang pemerintahannya abadi. Contohnya, mantan Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun punakhirnya runtuh oleh people power. Karena itulah, pemerintah harus segera melakukan perubahan dengan cara lebih menyejahterakan rakyatnya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR Melina Lei-mena Suharli juga mengaku resah terkait isu penggulingan SBY-Boediono yang santer terdengar menjelang satu tahun masa pemerintahan tersebut. Isu tersebut dianggap sangat tidak menguntungkan bagi bangsa Indonesia.
"Terutama di saat Indonesia yang kini dihadapkan pada penangananberbagai bencana alam dan upaya pengentasan kemiskinan," ujarnya.
Melina mengatakan, MPR tidak ingin terjadi penggulingan pemerintahan karena hal itu bukan cara yang tepat dalam penyelesaian permasalahan bangsa.
Menurutnya, masih banyak cara lain yang dapat dilakukan secara tepat, bijaksana, dan elegan untuk mengkritisi pemerintahan.
Rencananya, MPR juga akan menggelar rapat konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga-lembaga negara lainnya, Senin (18/10) mendatang, guna membahas hal-hal strategis yang muncul belakangan ini.
(Fober 8/Rully/Djoko Sl

Tidak ada komentar:

Posting Komentar