21 Oktober, 2010

Politikus Keong Racun?

Selasa, 12 Oktober 2010

 Politikus Keong Racun?
Oleh Boni Hargens Pengajar ilmu politik Universitas Indonesia.
Tanpa kesadaran politik, masyarakat tak bisa mandiri menilai calon pemimpin, malah negeri ini pun bisa menjadi sarang keong racun."
 TAHUN ini, Parlemen Sri Lanka meloloskan usulan perubahan masa jabatan presiden sehingga Mahinda Rajapaksa bisa berkuasa lagi untuk periode ketiga. Akibatnya, Freedom House memberi skor 4 untuk masingmasing kategori kebebasan sipil dan hak politik bagi Sri Lanka untuk 2010, yang sama artinya dengan setengah bebas (partly free). Kita juga pernah dicengangkan bola panas soal masa jabatan presiden tiga periode.
Ide aneh itu meluncur dari mulut wakil rakyat Ruhut Sitompul dari Partai Demokrat. Para pengamat politik sibuk, termasuk penulis, mengomentari statement politikus unik itu di televisi, radio, media cetak, dan situs berita.
Ada pendengar di Radio Pikiran Rakyat Bandung yang bilang, ide gila itu tak penting ditanggapi. Pendengar Radio Republik Indonesia malah bilang, tiga periode karena modal (kampanye) belum balik. Beragam tanggapan, tapi tak satu pun bernada positif.
Hal itu mencerminkan dua kenyataan penting. Pertama, masyarakat Indonesia sudah paham dengan prinsip demokrasi. Tak peduli berapa banyak dari 240 juta penduduk yang
sadar penuh. Paling penting, bahwa kekuasaan dalam demokrasi selalu dibatasi konstitusi. UUD 1945 menulis dengan jelas, masa jabatan presiden maksimal dua periode (10 tahun).
Itu sebabnya, begitu bergulir wacana tiga periode, publik resisten dan tertawa sinis.
Kedua, dalam tawa sinis, mungkin sambil menggelengkan kepala, kita sebetulnya menyimpan kecemasan yang serius di dalam benak. Mungkinkah ide gila itu hanya milik seorang Ruhut? Betulkah parlemen bisa membendung bola ketika nanti perubahan konstitusi dilaksanakan? Dalam ruang kecemasan inilah, kita bisa percaya bahwa Ruhut tak sendirian. Artinya, ada kehendak politik laten yang diam-diam mau menjebol konstitusi untuk kepentingan parsial. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menegaskan bantahannya terhadap wacana tersebut.
Kita bangga dengan itu sekaligus menaruh harapan yang besar dalam setiap kata-kata yang diucapkan Presiden.
Akan tetapi, dalam kekuasaan yang mapan, seorang presiden tentu bukanlah milik dirinya. Presiden adalah milik kelompok. Ia bisa bertindak di luar kehendak dirinya ketika kelompok menghendaki hal tertentu secara tertentu pula. Dulu Soeharto bertahan 32 tahun. Saya tak percaya Soeharto
sepenuhnya menghendaki panjangnya umur kekuasaan. Boleh jadi, beberapa tahun dari keseluruhan usia jabatan adalah kehendak kelompok (soehartois).
Implikasinya, ide tiga periode boleh tidak dikehendaki presiden, tapi kalau kelompok menghendaki demikian, kehendak SBY hanyalah anasir tambahan yang dalam situasi kompleks tak perlu dipertimbangkan.
‘Orang-orang presiden’ bisa saja bekerja untuk mengegolkan bola tersebut meski harus merobohkan gawang konstitusi, termasuk melawan kehendak pribadi presiden.
Untuk saat ini, penulis tak sepenuhnya yakin Demokrat di bawah pimpinan Anas Urbaningrum dan parlemen di bawah pimpinan Marzuki Alie akan berdiri di belakang
politikus penendang bola panas ini.
Mereka adalah politisi matang yang berpikir maju dan selalu dalam koridor demokrasi modern.
Namun, yang dicemaskan adalah politisi musiman yang bergerak tak beraturan seperti lempeng karambol di ujung jari peronda malam yang mau menghilangkan dingin malam dan rasa cemasnya. Apalagi, praktik politik di kita sering kali di luar logika normal.
Dalam konteks ini, saya teringat lagu Keong Racun yang belakangan melambungkan nama Jojo dan Shinta di belantara musik Indonesia. Bukan genre dangdut dalam lagu itu yang mau kita bincangkan, melainkan pemakaian judul Keong Racun.. Mereka yang suka makanan air tahu betul mana keong yang bisa dimakan dan mana yang berbisa.
Sebagaimana lagu-lagu pop umumnya di Tanah Air, `keong racun' berpretensi mengumpat kebinalan naluri lelaki dan kebebalan perilaku cinta kaum adam. Itu tersurat dalam syair `dasar kau keong racun, baru kenal ngajak tidur. Ngomong gak sopan santun, kau anggap aku ayam kampong'. Sebagian pria baik mungkin protes, terminologi keong racun terlalu sarkastis. Tapi, itulah faktanya di mata Shinta dan Jojo. Bahwa lelaki sering kali merendahkan perempuan, bahkan dalam UU Pornografi, No 44/2008, disudutkan sebagai sumber maksiat. Begitu juga dalam 66 perda bernuansa agama. Bahkan oleh sebagian pria, nikah siri yang suci dasarnya dijadikan alat legalisasi pelacuran.
Seperti sulit membedakan laki-laki keong racun dan keong baik, begitu juga kita sulit membedakan mana politikus keong racun dan mana politikus baik dalam kancah politik. Tapi yang jelas, politikus keong racun cenderung pragmatis, bahkan tak mengenal ideologi lain selain pragmatisme. Mereka menjual rakyat untuk suara dalam pemilu. Konstitusi ditabrak untuk harta dan kuasa. Dalam kamus politik mereka, demokrasi hanya judul untuk membungkus kerakusan irasional yang mengorbankan bangsa dan negara.
Karena itu, berbicara perubahan dalam konteks ini adalah berbicara tentang bagaimana mengurangi, kalau tak bisa menghabisi, politikus keong racun agar negara ini bisa benar. Kepemimpinan yang kuat, atau sebagian ahli bilang negara yang kuat, adalah kondisi ideal yang bisa membatasi jumlah keong racun. Pendidikan politik untuk masyarakat juga langkah yang tepat untuk membasmi keong racun dimulai dari bilik suara dalam pemilu. Tanpa kesadaran politik, masyarakat tak bisa mandiri menilai calon pemimpin, malah negeri ini pun bisa menjadi sarang keong racun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar