21 Desember, 2010

KOMPAS, JUMAT, 17 DESEMBER 2010
OPINI
Politisi?( Bukan) Politisi

Oleh BONI HARGENS

Judul ini terinspirasi kolom gaga hidup Berliner Zeitung (9/12/2010). Tajuknya, "Wann ist ein Mann ein Mann?" (Kapan Pria itu Pria?), Von Beate Scheder mengangkat cuilan feno­mena kosmetik modern yang berhasil meminggirkan konsepsi pria klasik yang macho, tegar, dan berotot dengan kehadiran pria metropolitan yang bening danLembut.
Scheder tak berkesimpulan. Namun, ia dan seluruh kaum posmodernis tahu bah­wa yang terutama bukan determinasi pria-wanita, melainkan kontribusi dari ke­priaan maupun kewanitaan terhadap per­adaban. Maka, perubahan visual tak ada urusannya dengan substansi.
Seperti konstruksi fender, politik seba­gai fakta social pun berubah. Akan tetapi, yang dibutuhkan adalah perubahan positif agar mendekatkan konsepsi luhur politik dengan kenyataan. Sayang, ini belum ter­jadi. Bahkan ketika melihat perkembang­an yang buruk, para. ahli politik—sebagaimana Joseph Schumpeter (1947)—resah dengan batasan klasik tentang politik se­bagai struktur nilai yang mendasarkan visi dan misi pada postulat moral. Schumpeter sendiri meragukan kandungan moral ke­tika ia melihat politik bekerja seperti pasar yang sekadar meraup untung.
Sekarang kita layak cemas karena sin­tesis berani Schumpeter tampaknya men­jadi kenyataan. Polemik panjang Sultan Hamengku Buwono X dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bukanlah perkara keistimewaan Yogyakarta an sick. Mung­kin ada yang tersentak dengan wacana "monarki di negara demokras "menyusul disputasi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kalau mau jujus, ini benturan politik kekuasaan yang ditransendensi ke tataran lugs dengan memakai bahasa demokrasi dan monarki untuk memperlihatkan ada­nya masalah. Agak naif karena terminologi monarki bukan istilah yang tepat meng­gambarkan kondisi DI Yogyakarta. Ke­sultanan, seperti dipahami Presiden juga, adalah keistimewaan yang khas seperti halnya syariat islam di Aceh atau wali kota yang ditetapkan, tidak dipilih, di DKI Jakarta.
Dalam praktik otonomi yang asimetris, Yogyakarta bukanlah masalah, aplagi his­tory kekhususan Yogyakarta sudah lama. Pada zaman kolonial, privilese Yogyakarta diakui pemerintah Hindia Belanda dan Nippon.
Dengan demikian, mempersoalkan ke­khususan DI Yogyakarta tak mudah di- terima akal. Kalau intensi kita luhur, ke­tika membahas status kultural dan politik Sultan, maka yang dipikirkan adalah ba­gaimana menegakkan otoritas kultural dan politik Sultan agar berdiri di atas segala perbedaan dan mengayomi seluruh keragaman kelompok dan pandangan po­litik. Konkretnya, boleh atau tidak Sultan berpartai politik?
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, itu hak Sultan sebagai warga negara. la boleh berpartai karena ia bukan pegawai negeri. JK tidak salah, tetapi memahami Sultan tak bisa memakai Un­dang-Undang Partai Politik.
DI Yogyakarta perlu dilihat secara kom­prehensif, terutama dari aspek sosio-kultural dan politik. Akan lebih bijaksana kalau Sultan tak bergabung dengan partai politik apa pun. Bukan karena banyak elite partai yang resah dengan keberpihakan Sultan pada partai tertentu. Bukan pula karena melihat larangan itu setimpal de­ngan privilese yang dimilikinya. Pertim­bangannya adalah keutuhan Yogyakarta sebagai Gesselschaft, paguyuban kultural yang melampaui segala bentuk penge­lompokan politik. Sultan sebagai pemim­pin politik sekaligus kultur wajib berdiri di atas pluralisme pandangan politik.
Tesis ini tidak untuk menyenangkan siapa pun atau memberi peluang kelom­pok politik tertentu mencaplok DI Yog­yakarta pada pemilu berikutnya, tetapi untuk menjaga kewibawaan Sultan dan kesultanan, sekaligus memelihara keis­timewaan Yogyakarta agar tidak rusak oleh gesekan kekuasaan temporal yang cuma lima tahun, maksimal 10 tahun.
Pasar obral
Sampai di sini, tampak bagi kita bahwa
wacana politik yang kelihatannya logis dan demokratis tak selamanya mengandung motivasi luhur. Maka, refleksi tertinggi kita, kapan politisi itu (benar-benar) po­litisi?
Pertanyaan ini mengandung dua irn­plikasi logis. Pertama, politisi kita belum menjadi politisi dalam makna yang se­sungguhnya. Kedua, politik sudah berubah menjadi pasar obral: obral wacana, obral kebohongan, obral manipulasi, obral pe­nampilan.
Dalam The Virtues of Mendacityy: On Lying in Politics (2010), Martin Jay dari Universitas California mengatakan, ber­bohong dibolehkan dalam politik untuk menghindari orang tak bersalah menjadi korban, untuk melindungi negara dari bahaya yang lebih benar, untuk meocegah kebangkrutan ekonomi negara, dan alasan transendental lainnya.
Di sini, berpolitik berbohong sekadar' untuk berbohong, tidak karena dan untuk tujuan luhur. Maka benar apa yang dikata­kan Mary Alice Gaston dalam The Values of Politics (1998), sambil mengutip omong­an ayahnya ketika ia kecil, bahwa tak ada yang salah dengan politik, tetapi dengan orang-orang yang berpolitik.
Dasarnya politik dan moral sulit di­pisahkan dan jangan pernah dipisahkan (Vittorio Hoesle, Moral and Politik, Grundlagen einer Politischen Ethnik: 1997). Politik bernilai dan bisa dinilai selama ada kandungan moral sehingga seorang politisi patut disebut politisi kalau ia ber­moral.


BONI HARGENS
Pengajar Ilmu Politik
Universitas Indonesia; Saat Ini
Tinggal di Berlin, Jerman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar