16 Maret, 2011

OPINI

SENIN,14 MARET 2011

Kekuasaan Bukan Mainan

Pada hari istrinya meninggal akibat kanker paru-paru (1 Maret 2011), penggagas Blok Perubahan dan bekas Menteri Perekonomian semasa pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001), Rizal Ramli, menyampaikan sepatah kata belasungkawa di hadapan beragam tamu yang hadir, mulai dari tokoh politik, seniman, aktivis, wartawan, akademisi, sampai masyarakat umum.

“Pada awal, banyak orang membicarakan perkawinan kami karena Siaw Fung (Maryani) Kristiani sementara saya Muslim. Tapi saya pikir, Indonesia harus berubah. Saatnya di Indonesia, orang tidak lagi mempermasalahkan perbedaan. Agama, suku, etnik, atau apa pun. Buktikan bahwa Indonesia ini satu dan semua harus sama”.

Kurang lebih begitu yang terpahat di memori saya. Lalu ada bagian lain. “Semasa hidupnya, Siaw Fung selalu memikirkan bangsa ini. Memikirkan kapan bangsa ini menjadi baik. Kapan bangsa Indonesia berubah”. Apa yang dikatakan Rizal Ramli memang dibenarkan oleh semua yang pernah mengenal Siaw Fung.

Penulis sendiri mengenal Beliau dalam jarak sosial yang cukup dekat. Ia bukan sekadar istri seorang tokoh nasional, tapi juga seorang anak bangsa yang peduli dengan nasib bangsanya. Pergaulannya dengan para aktivis prodemokrasi member kontribusi yang positif dalam memaknai lebih dalam apa yang dimaksudkan dengan nasionalisme dan patriotisme. Sesuatu yang belum tentu dimiliki oleh mereka yang paling sering memakai dua kata itu di panggung politik.

Saya perlu memulai tulisan ini dengan membicarakan kepergian almarhumah Siaw Fung, bukan saja karena perkenalan dengan Beliau melainkan karena apa yang menjadi kegelisahannya selama hidup merupakan kegelisahan kita semua yang masih peduli dengan Indonesia dan masa depannya. Hari ini kita dihadapkan pada berbagai masalah. Begitu rumit dan seakan tak terselesaikan kalau dikaitkan lagi dengan kepemimpinan politik yang belum memberikan harapan perubahan.

Lihat saja, dari tahun lalu, khususnya menjelang Lebaran 2010, reshuffle cabinet sudah diperbincangkan di media massa. Pemerintah menjanjikan perbaikan kinerja yang salah satu indikatornya adalah perombakan kabinet. Tapi, sampai sekarang, wacana itu hanyalah jualan politik yang tak bermutu.

Sesudah angket mafia pajak gagal di paripurna DPR 22 Pebruari 2011 lalu, Pemerintah begitu yakin akan melepas satu atau dua partai dari koalisi yang tentunya disusul dengan reshuffle serius kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Tapi, dalam beberapa hari ini, media massa nasional mengabarkan pada kita bahwa pemerintah tak memiliki keyakinan untuk melakukan perombakan dalam waktu dekat. Tentu bukan perombakan an sich yang mau kita persoalkan karena itu hak prerogatif presiden. Yang kita persoalkan adalah komitmen pemerintah terhadap rakyat.

Tidak Konsisten
Kelihatan jelas pemerintah tidak konsisten dan tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap publik. Janji reshuffle mau dibatalkan begitu saja tanpa mempertimbangkan persepsi publik terhadap performa pemerintah yang tidak stabil dan tidak konsisten. Seperti juga diungkap banyak pengamat politik, isu reshuffle ini berkaitan langsung dengan stabilitas pemerintahan. Kalau pemerintah terus mengulur waktu, stabilitas makin sulit dipelihara. Tapi anehnya, pemerintah tak mempertimbangkan hal penting seperti ini.

Sebaliknya, ada tendensi untuk terus asyik dengan pergumulan laten di balik layar. Asyik dengan berbagai rumus matematika politik yang acak dan tak berpola tanpa pernah memikirkan efek terhadap persepsi politik masyarakat luas. Pada titik ini, kita perlu menjawab satu pertanyaan mendasar, apakah benar politik itu sekadar permainan?.

Para ahli ilmu politik yang tergoda oleh pragmatisme dan liberalisasi politik, cenderung dengan gampang menyepakati bahwa politik adalah sebuah permainan. Ia merupakan seni kemungkinan, the art of possibilities.

Betul, sebagai proses merebut kekuasaan, politik adalah strategi atau rekayasa. Tetapi pada hakikatnya, politik bukanlah permainan semata. Politik adalah segala hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Politik mengandung intensi moral yang sangat luhur. Permainan kekuasaan tak akan pernah ditoleransi untuk menghancurkan muatan moral dari politik itu sendiri.

Ketika kita berbicara tentang perubahan, demokratisasi, dan pembangunan bangsa, kita berbicara serentak dan secara total mengenai bagaimana menjalankan politik yang berpusat pada rakyat (people-centered). Berpusat pada rakyat artinya politik mendasarkan cita-cita dan tujuannya pada kepentingan rakyat. Politik bukan sesuatu yang lahir dari kekuasaan an sich. Kekuasaan adalah manifestasi struktural dari ide politik yang luhur agar bisa dijalankan, bisa diukur, dan bisa ditebak.

Yang mengherankan kita, logika ini dibalik oleh para pelaku kekuasaan. Politik dikebiri sebagai permainan kekuasaan saja. Maka segala prosesnya pun tidak dipertanggungjawabkan pada fondasi moral dari politik itu sendiri dan para rakyat yang menjadi pemilik utamanya, tetapi justru dimainkan seperti para penjudi memelintir bola di meja taruhan.

Logisnya, kalau kita yang adalah rakyat biasa disuruh berpikir sebagai presiden, pada periode kedua pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mesti lebih tegas dalam mengambil sikap politik. Periode pertama ia boleh sedikit ragu karena partai asalnya ketika itu masih lemah di parlemen dan masih ada ambisi untuk memerintah kedua kalinya. Sekarang keadaan terbalik. Ia didukung partai terkuat dan secara konstitusional mendapatkan legitimasi yang kuat dengan dipilih 60% pemilih Indonesia. Lantas, kenapa masih ragu? Kenapa reshuffle kabinet harus memikirkan matematika politik PKS dan Golkar, misalnya? Atau kenapa kalau PKS dilepas mesti ditukar Gerindra atau jatah menteri Golkar tak ditambah dan PDIP harus bergabung dalam koalisi sebagai antisipasinya?.

Ini logika penakut yang tidak bisa diterima oleh rakyat Indonesia. Rakyat membutuhkan kepemimpinan presidensial yang kuat. Di mana presiden dengan penuh kepercayaan diri mengatur menterinya dan memutuskan konstruksi koalisi yang mendukungnya baik di eksekutif maupun di parlemen. Dengan kata lain, kita hendak mengatakan Presiden adalah pemimpin seluruh rakyat Indonesia.

Ia bukan milik Partai Demokrat. Ia juga bukan boneka PKS, Golkar atau partai apapun. Termasuk tentunya, bukan boneka Negara lain yang kebetulan kuat. Terlalu naïf kalau Presiden menguras lebih banyak energinya memikirkan langkah serangan balik partai-partai politik yang akan dilepas dari koalisi ketimbang memikirkan apa yang harus dilakukan pemerintah dalam waktu pemerintahan yang tersisa.

Mengharapkan Mukjizat
Ketika gejolak melawan pemerintah cukup kuat di kalangan aktivis, pemerintah sibuk membela diri dan orang di lingkaran dalam pemerintah seperti Dipo Alam pun serentak menyalahkan media massa. Ini kan aneh! Kalau pemerintahan berjalan normal dan mereka yang menjalankannya benar-benar bersih, gejolak seperti apapun tidak pernah menggetarkan langkah untuk terus maju. Justru ketika kompromi politik dan siasat belakang layar diperkuat, publik bisa menaruh curiga, ada apa dengan pemerintah?.

Kita tidak bermaksud menebar fitnah. Yang mau dikatakan adalah keprihatinan yang mendalam terhadap ketidaktegasan pemerintah terhadap partai koalisi, seperti terhadap berbagai kelompok dalam masyarakat yang sering berkomitmen dengan kekerasan sipil.

Akhirnya, kita mengharapkan mukjizat terjadi dalam waktu dekat. Bahwa reshuffle belum tentu membawa perubahan, itu juga suatu kemungkinan. Namun, keberanian pemerintah membuat terobosan, itu lebih penting daripada tidak melakukan samasekali terobosan. Bagaimanapun, demokrasi harus dipertanggungjawabkan pada fondasi nilai moralnya itu sendiri dan pada rakyat sebagai pemiliknya. Sebab kekuasaan bukan permainan yang bisa seenaknya dimainkan oleh para pemburu rente politik.

PENULIS ADALAH PENGAJAR ILMU POLITIK UI,
SEDANG BELAJAR DI JERMAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar