27 Mei, 2011

INDONESIA BUKAN KAMPUNG MELAYU


OPINI
KOMPAS 28 MEI 2011



O
 rang Indo?" Ka­dang, dalam versi lain: "Melayu?" Bagi orang Indonesia di Eropa, sapaan semacam ini sudah biasa.
"Kami tinggal di Kampung Melayu. Soalnya, banyak orang Indonesia!" kata diplomat muda di sebuah warung kopi. "Dari dulu begitu, susah diubah!" tam-bah Matins Jusuf (60), bekas pengantar turfs yang menetap sejak 1971 di Berlin. Tahun 2008, ada artikel bagus, ditulis Petri Lingkungan Hidup 2002, Gracia Paramitha, "Berani Bersumpah, Tak Mau (Lagi) Disebut 'Indon'!" (Harian Surya, 28/8/2008). Orang muda ini agak kesal. Ba­ginya, kata Indon berkonotasi merendahkan Indonesia.

Jelas, "Indonesia" tentu bukan Indon, Indo, ataupun Melayu! Ia berasal, secara etimologis, dari kata Indus (bahasa Latin, artinya India) dan pesos (bahasa Yunani, artinya pulau, kepulauan). Mun­cul pertama kali dalam tulisan etnolog Inggris, George Windsor Earl, 1850, dengan istilah Indu­nesians, orang-orang yang tinggal di Kepulauan India. Earl me­maralelkan istilah ini dengan Malayunesians, orang-orang yang tinggal di Kepulauan Ma­laya.

Murid Earl, James Richardson Logan, kemudian memakai kata Indonesia dalam tulisannya, yang disusul banyak endekiawan di Belanda. Abad ke-20, etnolog Jer­man, Adolf Bastian (1826-1905), memasukkan signifikasi politik sehingga Indonesia bermakna se­bagai identitas bangsa.

Di tahun 1913, Suwardi Sur­yaningrat memakai "Indonesia" ketika mendirikan Biro Pers
In­donesia di Belanda, disusul Sum­pah Pemuda 1928 di mana para pemuda mengukuhkannya seba­gai identitas kebangsaan.

Sejarah ini diceritakan lagi oleh Hans Berg, sejarawan dari Humboldt Universitat, ketika membawa kami ke tugu peri­ngatan Adolf Bastian di StresemannstraBe 110, kira-kira 500 meter di belakang kedai makan Indonesia di Berlin.

Kurang dihayati

Sudahkah kita menjadi Indo­nesia? Kalau boleh kita jujur, keindonesiaan masih Samar di­hayati secara substantif. Oleh ka­rena itu, elite dangkal masih se-ring memakai isu SARA dalam pemilu. Mei kelabu tahun 1998 dan berbagai benturan horizon­tal lain yang menyusul setelah Reformasi adalah pengingkaran yang arogan dan semena-mena terhadap hakikat keindonesiaan. Radikalisme dalam segala simbol dengan beragam struktur kepen­tingan di belakangnya merupa­kan banalitas kejahatan yang membunuh roh keindonesiaan an Bich.

Indonesia adalah sebuah bangsa yang terbangun dari beragam masyarakat sejarawi (Kymlica, 2000). Ada Melayu di Barat dan Melanesia di bagian Timer. Indonesia bukan Indo su­paya tak disamakan begitu saja dengan Indo-Cina. Dialektika se­jarah telah membentuk identitas Indonesia khas, sebagaimana da­lam teori Elementargedan­ken-nya Adolf Bastian. Bermula dari persilangan budaya, Bastian melihat, interaksi antarkelompok membentuk ide tertentu yang disebutnya Gesellschaftsgedan­ken, pikiran kolektif. Ia terba­ngun dari beragam pikiran rak­yat, VOkergedanken, yang ter­sebar dalam Tatar geografis dan historic.

Masyarakat Jawa memiliki pi­kiran kolektif yang khas. Flores, Batak, Papua, dan suku lain be­gitu juga. Maka, menjadi Indo­nesia adalah sebuah upaya kon­struktif dan dialektis dari ber­macam komunitas sosial dengan segala V0kergedanken-nya me­nuju terbentuknya sebuah "bangsa" yang memiliki Elemen­targedanke, pandangan menda­sar-bersama. Dari sini, lahir roh sosial, Gesellschaftsseele, berna­ma keindonesiaan itu.

Lantas di mana masalah ke­indonesiaan kita? Sejarah mem­perlihatkan dua kendala utama, hipokrasi sosial dan hipokrasi struktural. Hipokrasi sosial, ke­tidakrelaan bawah radar, yang internal sifatnya dalam pikiran kita, dipicu oleh prasangka dan stereotip sehingga kita gagal me­refleksikan dan mengaktualisa­sikan kesadaran keindonesiaan. Hipokrasi struktural adalah ke­munafikan struktural elite politik yang tidak menata multikultu­ralisme dalam konsep integrasi nasional yang betel berbasis dan berorientasi nasionalisme keindonesiaan. Tentu ada korelasinya dengan pragmatisme politik yang memakai label aga­ma ataupun etnik sebagai sumber kekuasaan.

Pengekalan hipokrasi

Kepemimpinan politik yang lemah Bering kali mengekalkan hipokrasi ganda ini. Padahal, menjadi Indonesia bukan semata koeksistensi dalam ruang dan waktu yang sama, melainkan "ada-bersama" dalam satu ke­sadaran dan orientasi.

Melalui demokrasi, kita me­nemukan aturan main menuju satu orientasi itu. Karenanya, rambu demokratik mesti dipa­tuhi. Tiap kelompok sosial ber­beda hares memiliki komitmen menjaga ruang publik sebagai Le­bensraum, ruang hidup.

Kalau komitmen ini sulit lahir natural, negara perlu dengan ke­kuatan koersif memaksa tiap orang agar menghargai ruang publik dengan segala keutama­annya. Negara yang absen dari tanggung jawab memelihara ru­ang publik adalah negara yang banal terhadap kebiadaban.

Usai peradilan Adolf Ei­chmann di Jerusalem, Hannah Arendt mengeluarkan tesis die BanalitAt des B0sen, banalitas ke­jahatan. Baginya, genosida tak saja kejahatan personal Ei­chmann, tetapi kejahatan negara. Hitler. Di Surat untuk Joachim Fest, 6 September 1964, is tulis: Ist die Rolle der BiUokratie nicht entscheidend? Tidakkah peran bi­rokrasi krusial? (Ludt & Wild, 2011:77).

Jelas benang merahnya bahwa wajah negara tampak dalam adegan kejahatan. Dengan sikap diam pun, negara sudah tampak sebagai pelaku. Maka, kepemim­pinan politik merupakan para­meter krusial. Tanga peran ideologic kepemimpinan, demo­krasi sulit hidup dan sebuah bangsa sukar jadi dirinya sendiri dan kuat. Selain itu, perlu ke­relaan kolektif dari kita agar merasa terpanggil untuk saling bertanggung jawab. Sehingga tiap kita bisa merasakan, Indo­nesia bukan sekadar Kampung Melayu!
Pengajar Ilmu Politik UI;
Melanjutkan Studi di Jerman


1 komentar: