Selasa, 7 Juni 2011 | 12:21
Hargens: Partai Harus Tegas pada Kader Bermasalah Foto (ist)

"Dulu pada zaman Yunani kuno, kegiatan politik terbatas untuk orang-orang cerdas dan bermoral. Makanya politik tidak punya defenisi lain selain segala hal yang berkaitan dengan kepentingan umum," kata Boni melalui pendapat yang disampaikan dari Berlin, Jerman, Selasa (7/6).
Dalam perkembangannya, kata Boni, politik melibatkan intrik, permainan kasar, manipulasi, pembunuhan karakter, korupsi dan sebagainya. Instrumen kotor dipakai untuk mendapatkan kekuasaan. "Asal berkuasa, tak peduli bagaimana kualitas," katanya, menegaskan.
Dia mengemukakan, selama 32 tahun Orde Baru dicerca habis-habisan karena tidak membiarkan masyarakat berpolitik secara natural dan demokratis.
"Makanya besar peluang agen politik baru sesudah 1998 seperti Partai Demokrat, PKS dan lain sebagainya itu untuk mendapatkan dukungan publik," ucap Boni yang sedang menyelesaikan studi di Berlin.
Mestinya, menurut dia, konsolidasi demokrasi di Indonesia ada di tangan agen-agen politik baru seperti itu. "Tapi apa yang terjadi dengan partai baru yang cukup populer macam ini? Praktik yang mereka tuduhkan pada aktor lama seperti PDIP dan Golkar, diulang lagi," ujarnya.
Boni menyatakan, paradoks macam ini mempersulit penguatan demokratisasi di Indonesia.
Dalam konteks Nazaruddin sekarang, kata dia, mestinya Demokrat sebagai partai yang antikorupsi mengambil langkah tegas, tanpa basah-basi. Dinonaktifkan dari parlemen dan partai, misalnya.
"Tapi, apa benar Nazarudin sendirian? Bukankah Nazaruddin bekerja untuk kas partai? Bagaimana ini bisa dijelaskan dalam konteks proses hukum Nazarudin nanti?," tuturnya, mempertanyakan.
Kalau Demokrat ingin menjadi agen dalam mendorong modernisasi demokrasi politik di Indonesia maka perlu pembenahan mulai dari dalam. Kader yang tidak bermutu dan suka membuat "blunder" serta kerjanya merusak wacana publik dengan pernyataan yang "ngawur" dan tidak cerdas harus ditinggalkan.
"Bersihkan partai dari orang-orang yang malas berpikir, namun sering berkelit," katanya, menegaskan.
Dengan demikian, lanjut dia, Demokrat memberi teladan bagi partai lain dan masyarakat politik serta PD sendiri akan menguasai pemilih urban yang tingkat pendidikannya relatif bagus.(ant/hrb)
"Makanya besar peluang agen politik baru sesudah 1998 seperti Partai Demokrat, PKS dan lain sebagainya itu untuk mendapatkan dukungan publik," ucap Boni yang sedang menyelesaikan studi di Berlin.
Mestinya, menurut dia, konsolidasi demokrasi di Indonesia ada di tangan agen-agen politik baru seperti itu. "Tapi apa yang terjadi dengan partai baru yang cukup populer macam ini? Praktik yang mereka tuduhkan pada aktor lama seperti PDIP dan Golkar, diulang lagi," ujarnya.
Boni menyatakan, paradoks macam ini mempersulit penguatan demokratisasi di Indonesia.
Dalam konteks Nazaruddin sekarang, kata dia, mestinya Demokrat sebagai partai yang antikorupsi mengambil langkah tegas, tanpa basah-basi. Dinonaktifkan dari parlemen dan partai, misalnya.
"Tapi, apa benar Nazarudin sendirian? Bukankah Nazaruddin bekerja untuk kas partai? Bagaimana ini bisa dijelaskan dalam konteks proses hukum Nazarudin nanti?," tuturnya, mempertanyakan.
Kalau Demokrat ingin menjadi agen dalam mendorong modernisasi demokrasi politik di Indonesia maka perlu pembenahan mulai dari dalam. Kader yang tidak bermutu dan suka membuat "blunder" serta kerjanya merusak wacana publik dengan pernyataan yang "ngawur" dan tidak cerdas harus ditinggalkan.
"Bersihkan partai dari orang-orang yang malas berpikir, namun sering berkelit," katanya, menegaskan.
Dengan demikian, lanjut dia, Demokrat memberi teladan bagi partai lain dan masyarakat politik serta PD sendiri akan menguasai pemilih urban yang tingkat pendidikannya relatif bagus.(ant/hrb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar