25 April, 2011

Boni Hargens: Ada Upaya Pemerintah Jatuhkan Citra DPR

Politik & Hukum 
Senin, 25 April 2011 14:47:00 WIB
Komhukum (Jakarta) - Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Boni Hargens, menilai ada desain besar untuk terus merontokkan kewibawaan lembaga legislatif DPR oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Bisa jadi, menurut Boni melalui pesan singkatnya dari Berlin, Jerman, Senin (25/4), desain tersebut datang dari lembaga eksekutif yang masyarakat tahu bahwa hubungan antara kedua lembaga tidak terlalu bagus saat ini.
"Kita harus lihat ini ada apa sehingga DPR terus yang dikoyak-koyak. Kita lihat masalah gedung baru, masalah nonton film porno dan kini pernyataan Djoko Susilo. Dengan langkah ini saya yakin citra DPR memang menurun dibandingkan dengan citra pemerintah di mata rakyat," katanya.
Ia mengatakan, semua orang tentu tahu bahwa para duta besar rata-rata juga tidak memikirkan bangsa ini dan hanya untuk diri sendiri. "Tapi kenapa DPR terus yang ditekan," katanya pula.
Apalagi, menurut Bony, pernyataan yang dibuat Djoko itu sangat tendensius. Dia yakin bahwa pernyataan Djoko itu tidak keluar begitu saja, karena tentunya tahu aturan-aturan birokrasi dan tahu posisinya saat ini.
Sebelumnya, Djoko Susilo menyatakan bahwa 90 persen kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri tak ada manfaatnya bagi rakyat. Djoko Susilo mengemukakan penilaiannya terhadap DPR RI melalui tulisan opini yang dimuat salah satu majalah ibu kota pada awal April 2011.
Menurut Djoko, meski sering dikritik publik, namun anggota parlemen kembali melanjutkan kebijakan kunjungan ke luar negeri. Kebiasaan yang sama dilakukan pejabat pemerintah baik di pusat maupun daerah.
"Tingginya program ke luar negeri dari banyak instansi di Indonesia bisa dilihat dari kesibukan perwakilan-perwakilan RI di luar negeri. Mereka terpaksa menempatkan staf lokal khusus mengurus tamu di bandara," kata Djoko.
Menurut mantan anggota Komisi I dari Fraksi PAN dua periode ini, kesibukan terlihat di Kedubes RI di Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Den Haag dan banyak negara lain. Dalam setahun rata-rata bisa menerima 4.000-5.000 delegasi resmi. Negara tujuan utama studi banding, yaitu Eropa Barat, Amerika Utara, Asia Timur/Tenggara dan Australia.
"Kolega saya yang menjabat kepala perwakilan RI di Ethiopia, Zimbabwe, Sudan, Senegal dan Nigeria jarang menerima kunjungan rombongan," kata Djoko.
Tak jarang ada dua rombongan dari instansi yang sama dengan tujuan studi banding sama, tetapi harinya berbeda. Hal ini akan sulit bagi KBRI menjelaskan kepada tuan rumah. "Ada ciri yang sama dari studi banding, negara maju sangat cocok untuk kegiatan 'sampingan', yaitu wisata," katanya.
Dalam banyak kesempatan, kata Djoko, terkadang rombongan tanpa malu-malu mengatakan akan lebih banyak berwisata daripada melakukan kunjungan sesungguhnya.
Tahun lalu, Djoko nyaris menolak serombongan DPRD dari suatu daerah di Sumatera sebab dalam surat yang dikirim ke Kedubes RI di Bern, studi banding itu hanya mengalokasikan enam jam untuk kegiatan resmi dari enam hari kunjungan.
Karena itu, Djoko menginstruksikan agar KBRI Swiss tidak usah mengurus rombongan Dewan yang hanya mau berwisata. "Silakan jalan sesukanya di Swiss, tetapi Kedubes tidak akan menstempel formulir Surat Perintah Perjalanan Dinas," katanya.
Menurut dia, antara biaya dengan hasil studi banding tidak seimbang. Untuk sekali kunjungan ke Eropa dibutuhkan 10 ribu dolar AS perorang. Rata-rata rombongan terdiri atas 13 anggota dan dua staf sehingga untuk sekali studi banding dibutuhkan paling tidak 150 ribu dolar AS.
Menurut Djoko, akan lebih efektif bila terkait dengan pelaksanaan tugas yang terkait luar negeri. KBRI bisa diminta bantuan untuk mencari informasi terkait tugas parlemen maupun instansi pemerintahan. "Akan terjadi efisiensi yang luar biasa. Kualitas informasi yang diperoleh juga pasti lebih bagus," katanya.
Cara lainnya adalah mengundang pakar dari luar negeri untuk menjelaskan keahliannya. Banyak lembaga nonpemerintah mau membiayai kedatangan pakar luar negeri. (K-2/ant)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar