25 April, 2011

Kasus Djoko Susilo vs DPR, Ada Revitalitas Eksekutif-Legislatif

Kasus Djoko Susilo vs DPR, Ada Revitalitas Eksekutif-Legislatif

INDOPOS, 26-4-2011

JAKARTA-Sejumlah kalangan terus berspekulasi terkait pernyataan Duta Besar Indonesia untuk Swiss Djoko Susilo. Sebagian menilai, jelas ada motivasi tertentu yang berusaha melindungi citra eksekutif dengan terus melemahkan institusi legislatif di balik statemen Djoko. Sebagian lagi bahkan mengkait- kaitkan latar belakang Djoko yng merupakan mantan anggota Komisi I DPR dri Fraksi PAN.

“Pernyataan Djoko itu saya kira tidak keluar begitu saja. Karena tentunya dia tahu aturan-aturan birokrasi dan dia tahu posisinya saat ini. Kalau mau menduga-duga bos besarnya Djoko kan orang di kabinet yang tentunya memiliki kepentingan juga untuk melindungi pemerintahannya,” kata pengmat politik dari Universitas Indonesia Boni Hargens melalui pesan singkatnya, kemarin (25/4/2011). Dia berpendapat, melihat berbagai kasus yang terus memojokkan DPR belakangan, memang seperti ada grand disign untuk terus merontokan kewibawaan lembaga legislatif oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dan bisa jadi menurut Boni, desain tersebut datang dari lembaga eksekutif di mana publik tahu bahwa hubungan antara kedua lembaga tersebut cukup buruk saat ini.

Terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin mengatakan, sebagai sebuah statemen politik, pernyataan Djoko Susilo bisa berdampak besar. Mengingat status Djoko saat ini yang merupakan aparat birokrasi kepanjangan tangan presiden. Karenanya, menurut Irman, presiden seharusnya menegur Dubes Indonesia untuk Swiss tersebut agar tidak terulang di kemudian hari. Teguran presiden ini, imbuhnya, sebaiknya segera dilakukan sebelum pihak DPR bereaksi yang bisa jadi berbalik menegur presiden atas perilaku jajaran di bawahnya. “Presiden harus menegur Dubes Swiss tersebut. Pernyataan itu tidak pantas dilakukan oleh seorang duta besar terhadap DPR yang merupakan pranata demokrasi tertinggi di Indonesia,” ujar Irman. Konstitusi menurut Irman memang menjamin hak warga negara untuk berpendapat.

Namun hal itu tidak berlaku ketika seseorang menjadi bagian dari birokrasi yang memiliki sistem tersendiri yang membuat hak berpendapat menkepenjadi dibatasi. Ketika seseorang menjadi pejabat negara, ungkapnya, maka hak-hak orang tersebut dengan sendirnya terkurangi. Sebab orang tersebut kini tidak lagi bekerja secara independen tetapi atas nama birokrasi. Menurutnya memang terkit hal ini tidak ada sistem perundangan yang secara detail mengatur dan membatasi hak bicara seorang birokrat. Namun sudah menjadi pakem internasional bahwa birokrat patuh pada aturan-aturan di institusi yang menaungi mereka. “Dalam hal ini presiden yang menjadi atasannya yang setara dengan DPR yang harus bertindak. Karena menlu pun sebagai atasan langsung dubes tidak setara dengan DPR dan masih harus mengkoordinasikan juga dengan presiden,” pungksnya. (did)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar