01 April, 2013

Korupsi Mengganjal Parpol Melaju ke Pemilu 2014

Oleh En Jacob Ereste Senin, 01 April 2013 14:36



Tensi politik menjelang Pemilu 2014 terasa semakin menegang, tidaklah semata-mata karena bermuatan politik semata, tetapi jua ada beban ekonomi yang semakin berat karena bercampur dengan beban hukum yang bias menggradasi pencitraan akibat terjerat korupsi, baik secara perorangan maupun berjamaah bersama segenap kawan-kawan separtai atau relasi lainnya. Kasus korupsi yang mencemari anggota partai telah menjadi ganjalan bagi parpol untuk melaju mulus ikut Pemilu 2014.

Sejak tahun lalu – 2012 hingga menjelang 2014 saat pelaksanaan Pemilu dilakukan -- banyak parpol yang kelimpungan, sibuk mengatasi berbagai kasus korupsi yang membelit kader-kader unggulannya. Wajar saja untuk sejumlah kasus korupsi itu kemudian digunakan oleh para pesaing maupun lawan politik untuk saling serang. Dan atas dasar inilah, agakanya kesimpulan pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Boni Hargens, memastikan sejumlah parpol telah tersandera oleh ulah kadernya yang terlibat korupsi. Ini pula agaknya konsekuensi logis dari pandangan politik yang memposisikan uang sebagai segala-galanya. Kecuali itu, umumnya para politisi Indonesia sendiri sudah terjerembab dalam kubangan kapitalisme yang menggiring orientasi politik bersifat materialistik. Sementara sejumlah politisi yang masih tersisa – belum tersentuh KPK – akan lebih banyak lagi yang mengusul – menuju Lapas Salemba. Direktur Sinergi Masyarakat, Said Salahudin melihat tren korupsi oleh anggota dewan dan pengurus parpol memang semakin meningkat .

Penegasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai proses penegakkan hukum di KPK tidak akan berdasarkan tekanan dan pesanan, tetapi berdasarkan bukti-bukti yang ada, terutama dalam penyidikan kasus dugaan korupsi "sport center" Hambalang . Pernyataan KPK ini terkait dengan permintaan SBY yang hinga mengindikasikan kebenaran bahwa proses hukum selama ini memang dominan terpiuh oleh suasana politik yang dimainkan oleh para politisi. Pernyaaan resmi KPK dalam menanggapi permintaan Presiden SBY agar KPK segera menuntaskan berbagai kasus korupsi, terutama menyangkut status Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, jelas sarat muatan politik.

Meskipun dalam kapsitasnya sebagai Ketua KPK, pernyataan Bamban Widjojanto yang menyatakan bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus-kasus yang ditangani KPK -- apalagi yang mendapat perhatian publik, termasuk kasus Anas – tdak mungkin dapat tertunda, atau dihalang-halangi hingga mulur mendekati saat pelaksanaan Pemilu 2014. Sehingga upaya untuk mendulang nilai politik yang menguntungkan bagi pihak tertentu, sama sekali tidak mungkir dilakukan. Sama halnya dengan penetapan mantan Menpora yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi proyek Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, nyatanya setelah sekian lama tidak juga ada kelanjutannnya.

Adakah ini semua sebagai bagian dari permaian politik yang sudah dimulai lebih awal ? Setidaknya, kasus serupa itu cukup banyak yang sudah menggantung cukup lama, belum juga dilakukan peningkatan, misalnya dilakukan penahanan terhadap yang bersanguktan. Lantaran untuk sejumlah kasus yang melilit tokoh partai yang lain misalnya, tidak sedikit yang langsung dilakukan penggelandangan dan pengandangan. Ini perlu diungkapkan, karena bagian dari rasa keadilan yang dirasakan mengiris hati rakyat kebanyakan. Kecuali itu, sejumlah kasus korupsi di Indonesia yang gegap gempita pemberitaannya, terlanjur menjadi totonan yang memilukan hati rakyat banyak, dan aparat pemerintah hanya sibuk mengurus tindak kejahatan korupsi, sehingga lalai mengurus kepentingan orang banyak.

Kasus-kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan para pelaku korupsi dari anggota atau pengurus partai politik berlangsung secara sistemik, bersama-sama, dan dari hulu ke hilir. Para politisi tampak piawai mengincar sejumlah sektor strategis yang ‘basah’ bergelimang uang . Kajian KPK menunjukan bila sektor- sektor strategis itu meliputi bidang kehutanan, energi, pertanian, dan pengelolaan haji. Bahkan kajian KPK juga juga menunjukkan ada kelemahan pengaturan perundang-undangan dalam soal pendanaan partai politik yang menjadi salah satu penyebab nafsu korupsi oleh para politisi tersebut jadi terkesan gila-gilaan.

Masalah pendanaan partai politik memang menjadi penyulut sejumlah kader partai melakukan korupsi. Lantaran untuk membiayai operasional partai, umumnya dibentur oleh masalah pengadaan dana. Akibatnya, tindak pidana korupsi seperti terpaksa menajdi pilihan. Apalagi selama ini suatu partai politik tidak membangun ketangguhan organisasinya dengan kemampuan yang jujur, bersih dan sehat, terbebas dari usaha yang halal. Kemampuan serupa itu hanya mungkin dimiliki oleh partai politik yang mengandalkan pengurus inti sebagai sumber pendanaan yang bersifat pribadi pula. Artinya, kondisi ekonomi maupun tatanan politik yang demokratis dalam tubuh partai, sungguh sulit diharapkan. Karena fondasi yang diandalkan dalam membangun konstruksi partai semata-mata mengandalkan uang. Itu pula agaknya, dalam perjalanan sejarah partai-partai di Indonesia – khususnya sejak reformasi yang cenderung menginginkan serba instant – sejumlah kader atau tokoh yang tangguh tidak mampu dilahirkan oleh partai.

Kecenderungan kader instant pun semakin dominan, seperti hasrat menggaet sejumlah artis atau public figure yang boleh saja sama sekali tidak memiliki ‘jam terbang’ sedetik pun ikit dalam perjalanan partai politik, bias semerta-merta duduk pada jajaran teras pengurus partai. Demikian pula sebaliknya, untuk sejumlah mereka yang sempat mengukuhkan diri sebagai elite parpol tertentu, tudak akan segan-segan melompat masuk ke pekarangan tetangga. Anehnya, untuk sejumlah partai politik di Indonesia ini pun, seperti telah menjadi pemahaman yang jamak untuk menerima yang bersangkutan dengan penuh suka cita. Atau bahkan, dielu-elukan layak menyambut kegadiran sang pahlawan. Padahal, komitmennya dalam berpartai maupun solidaritas kebersamaan, sangat amay patut disangsikan.

Fenomena serupa ini juga sesungguhnya menginsyaratkat kematangan dalam memahami ideology partai sebenarnya omong kosong. Karena, bila ideology bias disejajarjan dengan suatu keyakinan politik, bagaimana mungkin ‘sikap murtad’ seperti mereka yang penuh keringan ‘melompat pagar’ itu dapat dipercaya, kecuali hanya untuk hal-hal yang bersifat materalistik atau sekedar populeritas semata. Lantaran apa yang diusungnya masuk dalam partai politik tidak sama sekali memiliki nilai-nilai ideal yang dapat diperuntukkan bagi orang banyak. Oleh karena itu pua, sulit diharapakan munculnya kader partai politik yang tangguh – untuk kemudian mampu membangun partai dengan ideologi yang militant -- melahirkan kader-kader berikutnya yang lebih tangguh dan handal.

Pelajaran yang dapat dipetik dari peranan partai politik di Indonesia, sesungguhnya dapat dimulai dari proses kaderirasi yang konsisten dan berkelanjutan. Jika tidak, maka itu wajarlah yang tampil kader-kader karbitan hingga banyak diantaranya yang ‘gugur dan layu sebelum berkembang’. Dan terus terang saja, saya mengidolakan tampilnya tokoh-tokoh muda dalam kancah politik Indonesia seperti sosok anak muda mereka yang cukup potensial itu, diantaranya seperti Anas Urbaningrum, Edhie Bhaskoro. Tetapi sayangnya, belum cukup sabar menghadapi godaan yang bias membuat ‘mata gelap’ sehingga melahap entah apa saja, seperti buah kuldi yang menjadi kisah lagenda Nabi Adam dan Siti Hawa. ***

En Jacob Ereste
Sekjen DPP MIG SBSI, Jl. Tanah Tinggi 2 No. 25, Jakarta Pusat


http://bekasinews.com/index.php?option=com_content&id=3764&Itemid=59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar